Senin, 13 Mei 2013

Akte Perkawinan, Pendidikan hingga Konversi

| |

Pasuruan - Bali Tribune (9 Mei 2013),
Kebangkitan Hindu nusantara saat ini memang sudah mulai tampak. Meskipun demikian, bukan berarti mulus tanpa halangan.Permasalahan klasik umat di Bali sebagai barometer Hindu Indonesia juga dialami di daerah-daeah lain. Meskipun kebebasan beragama di negeri ini seringkali mengemuka.  Nyatanya berbanding terbalik dengan realitas  di lapangan.
Sewa Dharma Yatra yang digelar oleh  Pusat Koordinasi  Hindu Indonesia (Puskor Hindunesia), LSM  bergerak di bidang sosial –keagamaan di Jawa Timur, 3-5 Mei lalu membuka mata dan hati bahwa kebebasan beragama di negeri ini masih kalut dan terancam. Pasalnya untuk  memperoleh pendidikan keagamaan, memperoleh  akte perkawinan hingga tekanan konversi agama tak jarang  dirasakan oleh umat Hindu di beberapa daerah. Negara yang memiliki kewenangan untuk menyikapi itu pun terkesan tutup mata. Berikut  laporan perjalanan Wartawan Koran Bali Tribune, Komang Agus Widiantara menelusuri hiruk pikuk umat di Jawa Timur bersama Puskor Hindunesia.
Kunjungan yang dilakukan Puskor Hindunesia memang bukan satu-satunya komunitas atau LSM  Hindu yan belakangan bergerak untuk menyikapai masalah ke-Hindu-an di beberapa daerah. Gerakan serupa juga pernah dilakukan oleh mahasiswa hingga paguyuban atau komunitas lain yang serupa. Permasalahan yang dihadapi dilapangan pun tak jauh berbeda.
Banyuwangi merupakan salah satu kunjungan Puskor Hindunesia dari 3 kabupaten  di Jawa Timur yakni Lumajang dan Pasuruan. Umat Hindu yang tersebar di Kabupaten ini pun terbilang banyak  yakni menembus 1.116 KK.  Permasalahan yang disampaikan dalam dharma tula kala itu pun beragam. PHDI Banyuwangi yang diwakili oleh Wayan Merta dihadapan  Puskor Hindunesia, tokoh,  pemuda-pemudi dan umat setempat mengatakan bahwa permalahan keumatan seperti pendidikan keagamaan, sulitnya mengakses dan memperoleh akte perkawinan yang berujung pada konversi. Sejauh ini masih mejadi kendala besar pihaknya untuk mencarikan solusi.
Pemaparan Merta memang beralasan besar karena, sebagian besar umat Hindu setempat maupun  berasal dari Bali selama ini memang diakuinya dari fakta yang ditemukan dilapangan. Hal tersebut  juga mengemuka pada dharma tula dengan kehadiran warga setempat yang menyampaikan keluhan-keluhan.  Perlakukan yang tak adil sebagai minoritas di Kabupaten yang notabene masyarakatnya sebagai petani tersebut. Menjadi momok  dan tantangan memperoleh selember akte perkawinan, misalnya.
Untuk memperolehnya,umat harus berjuang mati-matian. Mulai dari syarat dan ketentuan hingga prosedur nyelimet yang arus dilewati. Itu pun belum tentu sepenuhnya juga diperoleh. “Bahkan kalau ngurus itu (akte perkawinan, red),  jika di KTP tercantum beragama Hindu, susahnya minta ampun.  Bahkan, ada yang rela berganti agama di KTP untuk peroleh akte perkawinan. Sehingga agama yang menjadi korban,”ujar salah seorang pengurus PHDI kecamatan yang mengenakan pakaian khas adat Jawa.
Tak hanya berhenti disana, pembinaan umat melalui pendidikan di sekolah-sekolah dan pasraman juga menjadi perhatian serius  dalam dharma tula yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut. Wajar saja, ribuan umat yang ada di Kabupaten tersebut hingga kini hanya ada 4 guru agama Hindu  yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Hal itu jelas   kurang efektif dalam  menanamkan nilai-nilai Hindu pada para pelajar dai tingkat SD-SMA.
Agar bisa menjangku pendidikan agama  disekolah. Salah satu pengajar  agama Hindu, Susiani Wulandari mengakui semenjak menamatkan diri dari Perguruan Tinggi Hindu di  Universitas Hindu Indonesia (UNHI) tahun lalu.  Ia kini mengabdikan dirinya di salah satu sekolah dasar yang bertatus Swasta tanpa diberikan gaji sedikitpun. Meskipun demikian, ia tidak serta merta pasrah begitu saja dalam mentranfer pengetahuan yang ia miliki selama duduk 4 tahun di bangku kuliah.
“Saya bangga bisa memberikan ilmu walaupn  tidak dibayar, juga tidak menuntut. Diberikan kesempatan untuk membimbing saya sudah  senang dan berterima kasih,”kata perempuan yang aktif mengajar di Pasraman “Dharma Sentana” Desa. Sembulung Kec. Cluring, Banyuwangi. Hanya saja, dalam proses pembelajaran tersebut buku-buku keagmaan masih menjadi benturan agar proses pembelajaran berjalan efektif.
Sejalan dengan keadaan umat di Kabupaten Bayuwangi. Demikan halnya pula  dialami di Kabupaten Lumajang yang didiami umat mencapai 2.100 KK.  PHDI setempat, Edy Sumianto mengakui permasalah klasik umat hingga kini juga belum tertangani dengan tuntas. Perjuangan untuk memperoleh syarat akte perkawinan hinga kini pun juga belum tertangani. Ia mengakui, kelemahan koordinasi yang meilibatkan komunitas agama lain juga menjadi kendala terbesar. Bahkan, upaya yang dilakukan ke pemerintah daerah agar memperoleh  akte tersebu juga terhadang  dari akte kelahiran.
“Seharusnya bisa dari keterangan desa untuk memperoleh akte kelahiran sehingga akte perkawinan juga lancar. Sayang prosesnya untuk itu dipersulit lagi. Inilah cara mereka untuk menekan kita dan memang disengaja,”tutur Edy yang juga menjadi penyuluh agama di Kabupaten Lumajang.
Begitupun untuk pendidikan umat di kabupaten itu.  Edy menjelaskan sulit menemukan generasi muda yang bisa sampai melanjutkan perguruan tinggi.Untuk mencarikan keadan itu pihaknya membentuk lembaga punia yang nantinya bisa memberikan  ruang pendidikan yang layak khususnya bagi umat yang kurang mampu. “SDM kita masih ketinggalan jauh. Tamat SMA bisa dihitung  dengan jari, karena sejak SMP saja sudah ada yang nikah,”akunya prihatin.  Koordinasi yang ditempuh melalui PHDI Pusat hingga disuarakan melalui Pesamuhan Agung PHDI pun, sejauh ini belum menemukan titik terang yang benderang. “Sampai saat ini belum juga ada hasilnya,”imbuhnya.
Namun nampaknya berbeda dengan keberadaan umat di Desa Kayu Kebek, Kec. Tutur, Kab. Pasuruan. Meskipun berada dipelosok dan diapit oleh lereng gunug. Keberadaan umat setempat yang berdampingan dengan umat lain nampak rukun. Hal tersebut diceritakan oleh tokoh setempat yang juga seorang pemangku yakni Wangiso. Pria 48 tahun ini mengatakan hidup berdampingan sudah sejak dulu kala terjalin, saling menghargai dan menghormati.  Jumlah umat yang mencapi 160 KK rata-rata memiliki mata pencarian sebagai petani dan buruh tani.
Hanya saja, pendidikan umat terbilang minim. Upaya untuk membangitkan pendidikan keagamaan melalui pasraman kembali dimulai. Meskipun terhalang tenaga pengajar yang mumpuni. Dewan Koordinasi Nasional  Puskor Hindunesia, IB Ketut Susena menilai bahwa menyikapi permalahan umat yang kompleks di beberapa wilayah Indonesia memang sebuah dilema dan menjadi tantangan untuk membangun kembali. Namun bukan berarti hal tersebut mustahil tidak ada jalan keluarnya.
Ia meminta kepada semua pihak,elemen dan tokoh masyarakat  permasalahan Hindu di Indonesia bisa teratasi dengan bertahap jikalau semua mau bekerjasama, saling berkoordinasi dan bersatu padu. “Yang bisa kita lakukan saat ini adalah menggalang persatuan  dengan  koordinasi semua elemen. Hal inilah yang selama ini lemah di umat kita,”tegasnya.  Pada kegiatan Sewa Dharma Yatra berangsung 3 hari itu.  Susena dan relawan yang tergabung, berkomitmen membentuk koordinasi di masing-masing kabupaten.  Menghimpun data-data keumatan yang penting, untuk menjadi rujukan menyikapi permalahan umat Hindu dalam berbagai hal dan bidang. KA Widiantara

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.