Pasuruan - Bali Tribune (9 Mei 2013),
Kebangkitan Hindu nusantara saat ini memang sudah mulai tampak.
Meskipun demikian, bukan berarti mulus tanpa halangan.Permasalahan
klasik umat di Bali sebagai barometer Hindu Indonesia juga dialami di
daerah-daeah lain. Meskipun kebebasan beragama di negeri ini seringkali
mengemuka. Nyatanya berbanding terbalik dengan realitas di lapangan.
Sewa Dharma Yatra yang digelar oleh Pusat Koordinasi Hindu
Indonesia (Puskor Hindunesia), LSM bergerak di bidang sosial –keagamaan
di Jawa Timur, 3-5 Mei lalu membuka mata dan hati bahwa kebebasan
beragama di negeri ini masih kalut dan terancam. Pasalnya untuk
memperoleh pendidikan keagamaan, memperoleh akte perkawinan hingga
tekanan konversi agama tak jarang dirasakan oleh umat Hindu di beberapa
daerah. Negara yang memiliki kewenangan untuk menyikapi itu pun
terkesan tutup mata. Berikut laporan perjalanan Wartawan Koran Bali
Tribune, Komang Agus Widiantara menelusuri hiruk pikuk umat di Jawa
Timur bersama Puskor Hindunesia.
Kunjungan yang dilakukan Puskor Hindunesia memang bukan satu-satunya
komunitas atau LSM Hindu yan belakangan bergerak untuk menyikapai
masalah ke-Hindu-an di beberapa daerah. Gerakan serupa juga pernah
dilakukan oleh mahasiswa hingga paguyuban atau komunitas lain yang
serupa. Permasalahan yang dihadapi dilapangan pun tak jauh berbeda.
Banyuwangi merupakan salah satu kunjungan Puskor Hindunesia dari 3
kabupaten di Jawa Timur yakni Lumajang dan Pasuruan. Umat Hindu yang
tersebar di Kabupaten ini pun terbilang banyak yakni menembus 1.116 KK.
Permasalahan yang disampaikan dalam dharma tula kala itu pun beragam.
PHDI Banyuwangi yang diwakili oleh Wayan Merta dihadapan Puskor
Hindunesia, tokoh, pemuda-pemudi dan umat setempat mengatakan bahwa
permalahan keumatan seperti pendidikan keagamaan, sulitnya mengakses dan
memperoleh akte perkawinan yang berujung pada konversi. Sejauh ini
masih mejadi kendala besar pihaknya untuk mencarikan solusi.
Pemaparan Merta memang beralasan besar karena, sebagian besar umat
Hindu setempat maupun berasal dari Bali selama ini memang diakuinya
dari fakta yang ditemukan dilapangan. Hal tersebut juga mengemuka pada
dharma tula dengan kehadiran warga setempat yang menyampaikan
keluhan-keluhan. Perlakukan yang tak adil sebagai minoritas di
Kabupaten yang notabene masyarakatnya sebagai petani tersebut. Menjadi
momok dan tantangan memperoleh selember akte perkawinan, misalnya.
Untuk memperolehnya,umat harus berjuang mati-matian. Mulai dari
syarat dan ketentuan hingga prosedur nyelimet yang arus dilewati. Itu
pun belum tentu sepenuhnya juga diperoleh. “Bahkan kalau ngurus itu
(akte perkawinan, red), jika di KTP tercantum beragama Hindu, susahnya
minta ampun. Bahkan, ada yang rela berganti agama di KTP untuk peroleh
akte perkawinan. Sehingga agama yang menjadi korban,”ujar salah seorang
pengurus PHDI kecamatan yang mengenakan pakaian khas adat Jawa.
Tak hanya berhenti disana, pembinaan umat melalui pendidikan di
sekolah-sekolah dan pasraman juga menjadi perhatian serius dalam dharma
tula yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut. Wajar saja, ribuan
umat yang ada di Kabupaten tersebut hingga kini hanya ada 4 guru agama
Hindu yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Hal itu jelas kurang
efektif dalam menanamkan nilai-nilai Hindu pada para pelajar dai
tingkat SD-SMA.
Agar bisa menjangku pendidikan agama disekolah. Salah satu pengajar
agama Hindu, Susiani Wulandari mengakui semenjak menamatkan diri dari
Perguruan Tinggi Hindu di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) tahun
lalu. Ia kini mengabdikan dirinya di salah satu sekolah dasar yang
bertatus Swasta tanpa diberikan gaji sedikitpun. Meskipun demikian, ia
tidak serta merta pasrah begitu saja dalam mentranfer pengetahuan yang
ia miliki selama duduk 4 tahun di bangku kuliah.
“Saya bangga bisa memberikan ilmu walaupn tidak dibayar, juga tidak
menuntut. Diberikan kesempatan untuk membimbing saya sudah senang dan
berterima kasih,”kata perempuan yang aktif mengajar di Pasraman “Dharma
Sentana” Desa. Sembulung Kec. Cluring, Banyuwangi. Hanya saja, dalam
proses pembelajaran tersebut buku-buku keagmaan masih menjadi benturan
agar proses pembelajaran berjalan efektif.
Sejalan dengan keadaan umat di Kabupaten Bayuwangi. Demikan halnya
pula dialami di Kabupaten Lumajang yang didiami umat mencapai 2.100
KK. PHDI setempat, Edy Sumianto mengakui permasalah klasik umat hingga
kini juga belum tertangani dengan tuntas. Perjuangan untuk memperoleh
syarat akte perkawinan hinga kini pun juga belum tertangani. Ia
mengakui, kelemahan koordinasi yang meilibatkan komunitas agama lain
juga menjadi kendala terbesar. Bahkan, upaya yang dilakukan ke
pemerintah daerah agar memperoleh akte tersebu juga terhadang dari
akte kelahiran.
“Seharusnya bisa dari keterangan desa untuk memperoleh akte kelahiran
sehingga akte perkawinan juga lancar. Sayang prosesnya untuk itu
dipersulit lagi. Inilah cara mereka untuk menekan kita dan memang
disengaja,”tutur Edy yang juga menjadi penyuluh agama di Kabupaten
Lumajang.
Begitupun untuk pendidikan umat di kabupaten itu. Edy menjelaskan
sulit menemukan generasi muda yang bisa sampai melanjutkan perguruan
tinggi.Untuk mencarikan keadan itu pihaknya membentuk lembaga punia yang
nantinya bisa memberikan ruang pendidikan yang layak khususnya bagi
umat yang kurang mampu. “SDM kita masih ketinggalan jauh. Tamat SMA bisa
dihitung dengan jari, karena sejak SMP saja sudah ada yang
nikah,”akunya prihatin. Koordinasi yang ditempuh melalui PHDI Pusat
hingga disuarakan melalui Pesamuhan Agung PHDI pun, sejauh ini belum
menemukan titik terang yang benderang. “Sampai saat ini belum juga ada
hasilnya,”imbuhnya.
Namun nampaknya berbeda dengan keberadaan umat di Desa Kayu Kebek,
Kec. Tutur, Kab. Pasuruan. Meskipun berada dipelosok dan diapit oleh
lereng gunug. Keberadaan umat setempat yang berdampingan dengan umat
lain nampak rukun. Hal tersebut diceritakan oleh tokoh setempat yang
juga seorang pemangku yakni Wangiso. Pria 48 tahun ini mengatakan hidup
berdampingan sudah sejak dulu kala terjalin, saling menghargai dan
menghormati. Jumlah umat yang mencapi 160 KK rata-rata memiliki mata
pencarian sebagai petani dan buruh tani.
Hanya saja, pendidikan umat terbilang minim. Upaya untuk membangitkan
pendidikan keagamaan melalui pasraman kembali dimulai. Meskipun
terhalang tenaga pengajar yang mumpuni. Dewan Koordinasi Nasional
Puskor Hindunesia, IB Ketut Susena menilai bahwa menyikapi permalahan
umat yang kompleks di beberapa wilayah Indonesia memang sebuah dilema
dan menjadi tantangan untuk membangun kembali. Namun bukan berarti hal
tersebut mustahil tidak ada jalan keluarnya.
Ia meminta kepada semua pihak,elemen dan tokoh masyarakat
permasalahan Hindu di Indonesia bisa teratasi dengan bertahap jikalau
semua mau bekerjasama, saling berkoordinasi dan bersatu padu. “Yang bisa
kita lakukan saat ini adalah menggalang persatuan dengan koordinasi
semua elemen. Hal inilah yang selama ini lemah di umat kita,”tegasnya.
Pada kegiatan Sewa Dharma Yatra berangsung 3 hari itu. Susena dan
relawan yang tergabung, berkomitmen membentuk koordinasi di
masing-masing kabupaten. Menghimpun data-data keumatan yang penting,
untuk menjadi rujukan menyikapi permalahan umat Hindu dalam berbagai hal
dan bidang. KA Widiantara
0 komentar:
Posting Komentar