Petirtaan Belahan, kadang-kadang juga disebut dengan Candi Belahan, adalah bangunan pemandian dari masa Klasik. Petirtaan Belahan terletak di sisi timur Gunung Penanggungan, Pasuruan Jawa Timur.
Bangunan ini diperkirakan berasal dari abad kesebelas masehi. Airlangga, raja yang berkuasa pada masa itu di Jawa dan Bali, diperkirakan dimakamkan di tempat ini. Pada petirtaan ini terdapat dua arca dewi, yaitu Sri dan Laksmi. Di antara kedua arca tersebut terdapat pedestal batu yang diperkirakan merupakan asal dari arca Wisnu di atas Garuda yang sekarang berada di Museum Trowulan.
Dalam kebudayaan Jawa Kuno yang berkembang antara abad ke-8—15 M, dijumpai banyak bangunan suci, antara lain yang berbentuk candi, goa pertapaan, punden berundak, dan petirthaan (patirthān). Apabila telaah tentang candi telah banyak dilakukan oleh para ahli arkeologi, lain halnya dengan petirthaan yang berupa kolam suci masih belum banyak kajian terhadapnya. Masyarakat Jawa Kuno tentunya membuat sejumlah banyak petirthaan, karena tempat itu penting untuk keperluan sehari-hari dan juga untuk keperluan keagamaan.
Petirthaan yang berasal dari kata patirthan (pa + tirtha + an) mempunyai kata dasar tirtha yang artinya air, dalam hal keagamaan air yang dimaksudkan adalah air suci yang dapat membuat suci seseorang. Air suci demikian layak disebut dengan tirtha nirmala atau tirtha amerta yang dipercaya mempunyai khasiat banyak selain membersihkan dosa-dosa, menyembuhkan berbagai penyakit, juga dipandang sebagai air keabadian. Dewa-dewa dipercaya telah meminum air amerta, oleh karena itu mereka bersifat abadi tidak mengenal kematian.
Dapat ditafsirkan bahwa dalam masyarakat Jawa Kuno dikenal adanya dua macam patirthan, yaitu (a) yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, untuk mandi, memasak, sumber air minum, mencuci dan sebagainya, dan (b) patirthān yang bersifat sakral untuk keperluan upacara keagamaan, dan juga kerapkali airnya digunakan untuk keperluan praktis sehari-hari. Dalam penelitian arkeologi Hindu-Buddha Indonesia, untuk membedakan antara petirthaan biasa dan petirthaan suci memang agak sukar, mungkin untuk keperluan sehari-hari masyarakat menggunakan air sungai, atau kolam yang lebar, akan tetapi jika ada mata air yang terbit dengan sendirinya di lereng gunung tertentu, maka dapat dianggap sebagai mata air sakral yang airnya dapat digunakan untuk keperluan upacara agama. Hal yang kedua pembeda itu adalah, biasanya mata air yang dipandang sakral akan dilengkapi dengan struktur arsitektur, dilengkapi arca-arca, dindingnya dihias relief dan sebagainya. Struktur tambahan itu dapat dibuat dari susunan balok batu, atau juga dari susunan bata.
Dalam perkembangannya, bentuk petirthaan dikenal menjadi 3 macam, yaitu:
1.Petirthaan alami, berupa badan air berupa mata air, kolam, danau, sungai yang dianggap keramat dan disucikan oleh masyarakat pendukungnya. Petirthaan alami ini tidak mendapat tambahan pengerjaan apapun, tetap seperti apa adanya. Contohnya Telaga Pengilon di Dieng, kolam Kasurangganan di Malang utara, dan Sungai Berantas dalam masa Jawa Kuno.
2.Sumber air alami yang mendapat tambahan dan pengerjaan lebih lanjut secara artifisial. Misalnya membuatkan pancuran (jaladwara) sebagai jalan keluarnya air, memperkeras tepian kolam dengan balok-balok batu, menambahkan arca-arca dewata dan lainnya lagi. Misalnya Petirthaan Bhima Lukar di Dieng, Candi Umbul di Magelang, Jalatunda dan Belahan di Gunung Penanggungan, dan petirthan Watu Gede di Malang.
3.Petirthaan yang merupakan bangunan buatan sepenuhnya, artinya di tempat tersebut tidak ada sumber air atau badan air apapun, namun kemudian dirancang suatu bentuk bangunan baru yang difungsikan sebagai tempat untuk mengambil air suci (Munandar 2003: 15). Air dapat dialirkan ke bangunan petirthaan seperti halnya Candi Tikus di Trowulan dan Petirthaan Simbatan Wetan atau bahkan diambil secara langsung dengan menggunakan wadah untuk keperluan upacara. Contohnya kepurbakalaan XVIIc (Candi Gentong) di Penanggungan yang menyimpan airnya pada sebuah gentong batu besar yang ditanam dalam tanah.
Petirthaan Belahan dahulu terdiri dari gugusan bangunan, namun yang tersisa sekarang hanyalah kolam petirthaannya dan dua arca dewi Sri dan Laksmi yang juga berfungsi sebagai arca pancuran. Kekunoan lain yang masih tersisa hingga sekarang hanyalah pintu gerbang yang beratap prasadha (di Bali dinamakan Gapura Kurung), sisa-sisa struktur pondasi bangunan, dan kolam. Bagian tepi kolam petirthaan diperkeras dengan susunan bata, begitupun dinding belakang kolam (barat) yang menyandar di kemiringan lereng diperkuat dengan susunan bata.
Pada dinding belakang di sisi barat tersebut semula terdapat 3 arca, hanya saja arca yang di tengah telah hilang, hanya menyisakan relung dangkal pada dinding bata. Dua arca dewi lainnya masih ada di tempatnya semula, walaupun kondisinya sudah aus dan pahatan rincinya tidak jelas lagi. Walaupun demikian pancaran keindahan masih terlihat dari kedua arca dewi itu, menunjukkan bahwa pemahatnya dahulu sangat pandai menguasai teknik ukir batu dan juga mengenal ikonografi dewa-dewi Hindu secara baik.
Berbeda halnya dengan petirthaan Jalatunda yang mempunyai inskripsi singkat angka tahun 899 Saka (977 M), Belahan tidak mempunyai inskripsi apapun. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat mengenai masa pembuatan petirthaan tersebut. Pendapat yang masih banyak dianut hingga sekarang dikemukakan oleh N.J.Krom (1923) yang menyatakan bahwa Belahan berasal dari masa Airlangga (1019—1042), bahkan petirthaan tersebut dianggap sebagai bangunan peringatan yang diabdikan bagi Airlangga setelah raja itu wafat. Arca Wisnu yang digambarkan duduk di punggung Garuda –sekarang disimpan di Pusat Informasi Majapahit, Trowulan–dianggap oleh Krom sebagai arca perwujudan Airlangga.
Pendapat yang dikemukakan oleh Th.A.Resink (1968), justru meragukan kesimpulan Krom, berdasarkan dukungan isi Prasasti Cunggrang tahun 851 Saka/929 M dan juga kajian peninggalan arkeologis yang masih tersisa menyimpulkan bahwa Belahan bukan dari zaman Airlangga. Petirthaan tersebut sangat mungkin berasal dari masa Raja Sindok (929—947 M) (Resink 1968: 6). Dalam prasasti Cunggrang bangunan petirthaan Belahan disebut dharmmapatapan i pawitra dan sangat mungkin didedikasikan bagi raja sebelum Sindok, yaitu Wawa atau Rakryan Bawang (Wawa) ayahanda dari Sri Parameswari Dyah Kebi istri Pu Sindok. Selanjutnya Resink menyatakan bahwa Belahan sangat mungkin berasal dari zaman Raja Wawa atau dari masa pemerintahan Sindok sendiri (Resink 1968: 32). Kesimpulan Resink tersebut mendapat dukungan dari Boechari, ia menyatakan bahwa jika arca Wisnu duduk di punggung Garuda itu berasal dari Belahan sesuai pendapat Krom, maka arca itu harus sesuai jika ditempatkan pada relung dangkal di tengah dinding belakang yang kosong. Akan tetapi ukuran arca itu terlalu besar untuk relung dinding belakang belakang yang lebih sempit. Artinya arca Wisnu tersebut harus berasal dari tempat lain.
Apabila diperhatikan dari sudut seni arca, maka kedua arca dewi yang masih ada di Belahan sejatinya bukan memperlihatkan arca-arca dari abad ke-10 atau 11, arca-arca tersebut justru menyimpan ciri gaya seni arca yang lebih muda. Arca-arca tersebut memperlihatkan adanya:
1.Garis-garis yang digambarkan pada bagian sirascakranya, mengesankan garis sinar yang keluar dari kepala arca.
2.Pada bagian belakang kepala arca juga digambarkan terdapat “pita-pita” yang berkibaran secara simetris di kanan-kiri kepala
3.Arca-arca tersebut walaupun sebagai arca pancuran memperlihatkan sikap statis kaku seperti halnya arca-arca perwujudan yang menggambarkan tokoh yang telah meninggal.
Ciri-ciri arca sebagaimana yang dimiliki oleh 2 arca dewi di Belahan adalah hal yang lazim dijumpai pada arca-arca zaman Majapahit (abad ke-14 M). Lagi pula ukuran tinggi arca-arca dewi di Belahan kurang lebih sama dengan arca Parwati dari Candi Ngrimbi dan juga arca Hari-Hara dari Simping, yaitu sekitar 2 m. Garis-garis yang keluar dari kepala arca juga dijumpai pada arca Hari-Hara, Parwati, dan arca-arca perwujudan zaman Majapahit lainnya bahkan yang berasal dari abad ke-15 M, Garis-garis itu hendak menyatakan kesucian tokoh arca yang disebut dengan “Sinar Majapahit”. Pada arca-arca zaman-zaman sebelumnya tidak pernah dijumpai adanya garis-garis sinar seperti itu.
Pita-pita yang berkibaran di kanan-kiri kepala juga dijumpai pada arca Hari-Hara dan Parwati yang keduanya menggambarkan tokoh Raden Wijaya dan Tribhuwanottunggadewi. Pita-pita tersebut terus digambarkan pada arca-arca perwujudan zaman Majapahit lainnya. Arca perwujudan adalah khas Majapahit, arca digambarkan dengan kedua tangan terjulur di samping tubuh, beranjalimudra, atau berdyanamudra di depan dada. Dalam hal dua arca dewi di Belahan keduanya, memiliki tangan kanan dan kiri dengan sikap simetris, tidak berbeda antara sikap tangan kanan dan kirinya. Salah satu arca kedua tangannya memegang payudaranya yang dari dalamnya memancar air ke luar, kedua tangan tersebut digambarkan simetris. Sementara itu kedua tangan lainnya digambarkan terbuka menjulur ke bawah tubuh secara simetris pula, jadi arca-arca dewi itu mempunyai 4 tangan. Hal yang harus diperhatikan sungguh-sungguh adalah bahwa kedua arca tersebut sejatinya menggambarkan arca Dewi Parwati, sakti Siwa Mahadewa, bukan Sri dan bukan pula Laksmi. Dalam Ikonografi Hindu, dewi yang digambarkan bertangan 4 hanyalah Dewi Parwati sebagai dewi tertinggi, bukan dewi-dewi lainnya.
Menilik gaya seni arca yang sepenuhnya bergaya Majapahit, maka dapat disimpulkan bahwa mungkin Belahan dibangun dalam era Majapahit. Jika memperhatikan ukuran arcanya yang sama dengan arca-arca dari Candi Ngrimbi dan Simping, maka Belahan ditafsirkan dibuat di awal abad ke-14 M. Belahan adalah petirthan Majapahit dengan konstruksi bata dan arca batu sebagaimana yang terdapat pada kepurbakalaan Majapahit lainnya yang juga menggunakan kedua bahan tersebut seperti Candi Jawi, Jago, Panataran, petirthaan Watu Gede, dan lainnya lagi.
Patithan Belahan sengaja didirikan oleh para pembangunnya dahulu di lereng Gunung Pawitra yang merupakan puncak Mahameru yang dipindahkan ke Tanah Jawa. Jalatunda berlokasi di lereng barat dan Belahan di lereng timur Penanggungan. Keduanya sebenarnya hendak menyatakan bahwa air yang memancar dari kedua petirthaan tersebut sebenarnya adalah amerta yang seakan-akan keluar dari tubuh Mahameru. Air amerta merupakan air yang diperlukan dalam kehidupan manusia dan juga para dewa, air itu dapat digunakan untuk berbagai kebaikan manusia.
Akan halnya petirthaan Belahan yang banyak menyita perhatian para sarjana mengenai kronologi pembangunannya, disebabkan tidak ada inskripsi angka tahun yang dapat dihubungkan dengannya. Maka kajian ini pun mengemukakan interpretasi tersendiri, bahwa berdasarkan kepada bahan pembuatan petirthaan, gaya seni arca, ukuran tinggi arca, dan penggambaran arca yang statis-kaku, disimpulkan bahwa Belahan berasal dari era Majapahit, sangat mungkin dari masa awal Majapahit menuju kemegahannya di paruh pertama abad ke-14 M, sangat mungkin dalam era pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi (1328—1351 M) yang juga digambarkan sebagai arca Dewi Parwati di Candi Ngrimbi.
Agaknya jika keluarga Isana mempunyai petirthaan untuk wangsanya, yaitu Jalatunda, maka keluarga raja Majapahit juga mempunyai petirthaan khusus untuk Rajasawangsa, yaitu Belahan. Wangsa Isana akhirnya dapat dikalahkan oleh wangsa baru yang dikembangkan oleh Ken Angrok (Rajasawangsa), setelah dikalahkannya Krtajaya raja Kadiri terakhir oleh Ken Angrok dalam pertempuran di Desa Ganter tahun 1222. Anak keturunan Ken Angrok yang memerintah di zaman Singhasari-Majapahit, tentunya akan membuat petirthaan tandingan di lereng Pawitra yang keramat tersebut. Jika Jalatunda milik Isanawangsa, maka Belahan milik Rajasawangsa. Lokasi Belahan di lereng timur Pawitra, menandakan arah terbaik, sebab di arah timur tempat bersemayamnya Indra, dewa yang menjadi rajanya para dewa. Indra adalah simbol penguasa.
Sumber: Majalah Arkeologi Indonesia.
Foto : Ritual Ruwatan di Patirthan Belahan.
Selengkapnya
Bangunan ini diperkirakan berasal dari abad kesebelas masehi. Airlangga, raja yang berkuasa pada masa itu di Jawa dan Bali, diperkirakan dimakamkan di tempat ini. Pada petirtaan ini terdapat dua arca dewi, yaitu Sri dan Laksmi. Di antara kedua arca tersebut terdapat pedestal batu yang diperkirakan merupakan asal dari arca Wisnu di atas Garuda yang sekarang berada di Museum Trowulan.
Dalam kebudayaan Jawa Kuno yang berkembang antara abad ke-8—15 M, dijumpai banyak bangunan suci, antara lain yang berbentuk candi, goa pertapaan, punden berundak, dan petirthaan (patirthān). Apabila telaah tentang candi telah banyak dilakukan oleh para ahli arkeologi, lain halnya dengan petirthaan yang berupa kolam suci masih belum banyak kajian terhadapnya. Masyarakat Jawa Kuno tentunya membuat sejumlah banyak petirthaan, karena tempat itu penting untuk keperluan sehari-hari dan juga untuk keperluan keagamaan.
Petirthaan yang berasal dari kata patirthan (pa + tirtha + an) mempunyai kata dasar tirtha yang artinya air, dalam hal keagamaan air yang dimaksudkan adalah air suci yang dapat membuat suci seseorang. Air suci demikian layak disebut dengan tirtha nirmala atau tirtha amerta yang dipercaya mempunyai khasiat banyak selain membersihkan dosa-dosa, menyembuhkan berbagai penyakit, juga dipandang sebagai air keabadian. Dewa-dewa dipercaya telah meminum air amerta, oleh karena itu mereka bersifat abadi tidak mengenal kematian.
Dapat ditafsirkan bahwa dalam masyarakat Jawa Kuno dikenal adanya dua macam patirthan, yaitu (a) yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, untuk mandi, memasak, sumber air minum, mencuci dan sebagainya, dan (b) patirthān yang bersifat sakral untuk keperluan upacara keagamaan, dan juga kerapkali airnya digunakan untuk keperluan praktis sehari-hari. Dalam penelitian arkeologi Hindu-Buddha Indonesia, untuk membedakan antara petirthaan biasa dan petirthaan suci memang agak sukar, mungkin untuk keperluan sehari-hari masyarakat menggunakan air sungai, atau kolam yang lebar, akan tetapi jika ada mata air yang terbit dengan sendirinya di lereng gunung tertentu, maka dapat dianggap sebagai mata air sakral yang airnya dapat digunakan untuk keperluan upacara agama. Hal yang kedua pembeda itu adalah, biasanya mata air yang dipandang sakral akan dilengkapi dengan struktur arsitektur, dilengkapi arca-arca, dindingnya dihias relief dan sebagainya. Struktur tambahan itu dapat dibuat dari susunan balok batu, atau juga dari susunan bata.
Dalam perkembangannya, bentuk petirthaan dikenal menjadi 3 macam, yaitu:
1.Petirthaan alami, berupa badan air berupa mata air, kolam, danau, sungai yang dianggap keramat dan disucikan oleh masyarakat pendukungnya. Petirthaan alami ini tidak mendapat tambahan pengerjaan apapun, tetap seperti apa adanya. Contohnya Telaga Pengilon di Dieng, kolam Kasurangganan di Malang utara, dan Sungai Berantas dalam masa Jawa Kuno.
2.Sumber air alami yang mendapat tambahan dan pengerjaan lebih lanjut secara artifisial. Misalnya membuatkan pancuran (jaladwara) sebagai jalan keluarnya air, memperkeras tepian kolam dengan balok-balok batu, menambahkan arca-arca dewata dan lainnya lagi. Misalnya Petirthaan Bhima Lukar di Dieng, Candi Umbul di Magelang, Jalatunda dan Belahan di Gunung Penanggungan, dan petirthan Watu Gede di Malang.
3.Petirthaan yang merupakan bangunan buatan sepenuhnya, artinya di tempat tersebut tidak ada sumber air atau badan air apapun, namun kemudian dirancang suatu bentuk bangunan baru yang difungsikan sebagai tempat untuk mengambil air suci (Munandar 2003: 15). Air dapat dialirkan ke bangunan petirthaan seperti halnya Candi Tikus di Trowulan dan Petirthaan Simbatan Wetan atau bahkan diambil secara langsung dengan menggunakan wadah untuk keperluan upacara. Contohnya kepurbakalaan XVIIc (Candi Gentong) di Penanggungan yang menyimpan airnya pada sebuah gentong batu besar yang ditanam dalam tanah.
Petirthaan Belahan dahulu terdiri dari gugusan bangunan, namun yang tersisa sekarang hanyalah kolam petirthaannya dan dua arca dewi Sri dan Laksmi yang juga berfungsi sebagai arca pancuran. Kekunoan lain yang masih tersisa hingga sekarang hanyalah pintu gerbang yang beratap prasadha (di Bali dinamakan Gapura Kurung), sisa-sisa struktur pondasi bangunan, dan kolam. Bagian tepi kolam petirthaan diperkeras dengan susunan bata, begitupun dinding belakang kolam (barat) yang menyandar di kemiringan lereng diperkuat dengan susunan bata.
Pada dinding belakang di sisi barat tersebut semula terdapat 3 arca, hanya saja arca yang di tengah telah hilang, hanya menyisakan relung dangkal pada dinding bata. Dua arca dewi lainnya masih ada di tempatnya semula, walaupun kondisinya sudah aus dan pahatan rincinya tidak jelas lagi. Walaupun demikian pancaran keindahan masih terlihat dari kedua arca dewi itu, menunjukkan bahwa pemahatnya dahulu sangat pandai menguasai teknik ukir batu dan juga mengenal ikonografi dewa-dewi Hindu secara baik.
Berbeda halnya dengan petirthaan Jalatunda yang mempunyai inskripsi singkat angka tahun 899 Saka (977 M), Belahan tidak mempunyai inskripsi apapun. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat mengenai masa pembuatan petirthaan tersebut. Pendapat yang masih banyak dianut hingga sekarang dikemukakan oleh N.J.Krom (1923) yang menyatakan bahwa Belahan berasal dari masa Airlangga (1019—1042), bahkan petirthaan tersebut dianggap sebagai bangunan peringatan yang diabdikan bagi Airlangga setelah raja itu wafat. Arca Wisnu yang digambarkan duduk di punggung Garuda –sekarang disimpan di Pusat Informasi Majapahit, Trowulan–dianggap oleh Krom sebagai arca perwujudan Airlangga.
Pendapat yang dikemukakan oleh Th.A.Resink (1968), justru meragukan kesimpulan Krom, berdasarkan dukungan isi Prasasti Cunggrang tahun 851 Saka/929 M dan juga kajian peninggalan arkeologis yang masih tersisa menyimpulkan bahwa Belahan bukan dari zaman Airlangga. Petirthaan tersebut sangat mungkin berasal dari masa Raja Sindok (929—947 M) (Resink 1968: 6). Dalam prasasti Cunggrang bangunan petirthaan Belahan disebut dharmmapatapan i pawitra dan sangat mungkin didedikasikan bagi raja sebelum Sindok, yaitu Wawa atau Rakryan Bawang (Wawa) ayahanda dari Sri Parameswari Dyah Kebi istri Pu Sindok. Selanjutnya Resink menyatakan bahwa Belahan sangat mungkin berasal dari zaman Raja Wawa atau dari masa pemerintahan Sindok sendiri (Resink 1968: 32). Kesimpulan Resink tersebut mendapat dukungan dari Boechari, ia menyatakan bahwa jika arca Wisnu duduk di punggung Garuda itu berasal dari Belahan sesuai pendapat Krom, maka arca itu harus sesuai jika ditempatkan pada relung dangkal di tengah dinding belakang yang kosong. Akan tetapi ukuran arca itu terlalu besar untuk relung dinding belakang belakang yang lebih sempit. Artinya arca Wisnu tersebut harus berasal dari tempat lain.
Apabila diperhatikan dari sudut seni arca, maka kedua arca dewi yang masih ada di Belahan sejatinya bukan memperlihatkan arca-arca dari abad ke-10 atau 11, arca-arca tersebut justru menyimpan ciri gaya seni arca yang lebih muda. Arca-arca tersebut memperlihatkan adanya:
1.Garis-garis yang digambarkan pada bagian sirascakranya, mengesankan garis sinar yang keluar dari kepala arca.
2.Pada bagian belakang kepala arca juga digambarkan terdapat “pita-pita” yang berkibaran secara simetris di kanan-kiri kepala
3.Arca-arca tersebut walaupun sebagai arca pancuran memperlihatkan sikap statis kaku seperti halnya arca-arca perwujudan yang menggambarkan tokoh yang telah meninggal.
Ciri-ciri arca sebagaimana yang dimiliki oleh 2 arca dewi di Belahan adalah hal yang lazim dijumpai pada arca-arca zaman Majapahit (abad ke-14 M). Lagi pula ukuran tinggi arca-arca dewi di Belahan kurang lebih sama dengan arca Parwati dari Candi Ngrimbi dan juga arca Hari-Hara dari Simping, yaitu sekitar 2 m. Garis-garis yang keluar dari kepala arca juga dijumpai pada arca Hari-Hara, Parwati, dan arca-arca perwujudan zaman Majapahit lainnya bahkan yang berasal dari abad ke-15 M, Garis-garis itu hendak menyatakan kesucian tokoh arca yang disebut dengan “Sinar Majapahit”. Pada arca-arca zaman-zaman sebelumnya tidak pernah dijumpai adanya garis-garis sinar seperti itu.
Pita-pita yang berkibaran di kanan-kiri kepala juga dijumpai pada arca Hari-Hara dan Parwati yang keduanya menggambarkan tokoh Raden Wijaya dan Tribhuwanottunggadewi. Pita-pita tersebut terus digambarkan pada arca-arca perwujudan zaman Majapahit lainnya. Arca perwujudan adalah khas Majapahit, arca digambarkan dengan kedua tangan terjulur di samping tubuh, beranjalimudra, atau berdyanamudra di depan dada. Dalam hal dua arca dewi di Belahan keduanya, memiliki tangan kanan dan kiri dengan sikap simetris, tidak berbeda antara sikap tangan kanan dan kirinya. Salah satu arca kedua tangannya memegang payudaranya yang dari dalamnya memancar air ke luar, kedua tangan tersebut digambarkan simetris. Sementara itu kedua tangan lainnya digambarkan terbuka menjulur ke bawah tubuh secara simetris pula, jadi arca-arca dewi itu mempunyai 4 tangan. Hal yang harus diperhatikan sungguh-sungguh adalah bahwa kedua arca tersebut sejatinya menggambarkan arca Dewi Parwati, sakti Siwa Mahadewa, bukan Sri dan bukan pula Laksmi. Dalam Ikonografi Hindu, dewi yang digambarkan bertangan 4 hanyalah Dewi Parwati sebagai dewi tertinggi, bukan dewi-dewi lainnya.
Menilik gaya seni arca yang sepenuhnya bergaya Majapahit, maka dapat disimpulkan bahwa mungkin Belahan dibangun dalam era Majapahit. Jika memperhatikan ukuran arcanya yang sama dengan arca-arca dari Candi Ngrimbi dan Simping, maka Belahan ditafsirkan dibuat di awal abad ke-14 M. Belahan adalah petirthan Majapahit dengan konstruksi bata dan arca batu sebagaimana yang terdapat pada kepurbakalaan Majapahit lainnya yang juga menggunakan kedua bahan tersebut seperti Candi Jawi, Jago, Panataran, petirthaan Watu Gede, dan lainnya lagi.
Patithan Belahan sengaja didirikan oleh para pembangunnya dahulu di lereng Gunung Pawitra yang merupakan puncak Mahameru yang dipindahkan ke Tanah Jawa. Jalatunda berlokasi di lereng barat dan Belahan di lereng timur Penanggungan. Keduanya sebenarnya hendak menyatakan bahwa air yang memancar dari kedua petirthaan tersebut sebenarnya adalah amerta yang seakan-akan keluar dari tubuh Mahameru. Air amerta merupakan air yang diperlukan dalam kehidupan manusia dan juga para dewa, air itu dapat digunakan untuk berbagai kebaikan manusia.
Akan halnya petirthaan Belahan yang banyak menyita perhatian para sarjana mengenai kronologi pembangunannya, disebabkan tidak ada inskripsi angka tahun yang dapat dihubungkan dengannya. Maka kajian ini pun mengemukakan interpretasi tersendiri, bahwa berdasarkan kepada bahan pembuatan petirthaan, gaya seni arca, ukuran tinggi arca, dan penggambaran arca yang statis-kaku, disimpulkan bahwa Belahan berasal dari era Majapahit, sangat mungkin dari masa awal Majapahit menuju kemegahannya di paruh pertama abad ke-14 M, sangat mungkin dalam era pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi (1328—1351 M) yang juga digambarkan sebagai arca Dewi Parwati di Candi Ngrimbi.
Agaknya jika keluarga Isana mempunyai petirthaan untuk wangsanya, yaitu Jalatunda, maka keluarga raja Majapahit juga mempunyai petirthaan khusus untuk Rajasawangsa, yaitu Belahan. Wangsa Isana akhirnya dapat dikalahkan oleh wangsa baru yang dikembangkan oleh Ken Angrok (Rajasawangsa), setelah dikalahkannya Krtajaya raja Kadiri terakhir oleh Ken Angrok dalam pertempuran di Desa Ganter tahun 1222. Anak keturunan Ken Angrok yang memerintah di zaman Singhasari-Majapahit, tentunya akan membuat petirthaan tandingan di lereng Pawitra yang keramat tersebut. Jika Jalatunda milik Isanawangsa, maka Belahan milik Rajasawangsa. Lokasi Belahan di lereng timur Pawitra, menandakan arah terbaik, sebab di arah timur tempat bersemayamnya Indra, dewa yang menjadi rajanya para dewa. Indra adalah simbol penguasa.
Sumber: Majalah Arkeologi Indonesia.
Foto : Ritual Ruwatan di Patirthan Belahan.