Jumat, 24 Mei 2013

Petirtaan Belahan

| |
0 komentar
Petirtaan Belahan, kadang-kadang juga disebut dengan Candi Belahan, adalah bangunan pemandian dari masa Klasik. Petirtaan Belahan terletak di sisi timur Gunung Penanggungan, Pasuruan Jawa Timur.

Bangunan ini diperkirakan berasal dari abad kesebelas masehi. Airlangga, raja yang berkuasa pada masa itu di Jawa dan Bali, diperkirakan dimakamkan di tempat ini. Pada petirtaan ini terdapat dua arca dewi, yaitu Sri dan Laksmi. Di antara kedua arca tersebut terdapat pedestal batu yang diperkirakan merupakan asal dari arca Wisnu di atas Garuda yang sekarang berada di Museum Trowulan.

Dalam kebudayaan Jawa Kuno yang berkembang antara abad ke-8—15 M, dijumpai banyak bangunan suci, antara lain yang berbentuk candi, goa pertapaan, punden berundak, dan petirthaan (patirthān). Apabila telaah tentang candi telah banyak dilakukan oleh para ahli arkeologi, lain halnya dengan petirthaan yang berupa kolam suci masih belum banyak kajian terhadapnya. Masyarakat Jawa Kuno tentunya membuat sejumlah banyak petirthaan, karena tempat itu penting untuk keperluan sehari-hari dan juga untuk keperluan keagamaan.

Petirthaan yang berasal dari kata patirthan (pa + tirtha + an) mempunyai kata dasar tirtha yang artinya air, dalam hal keagamaan air yang dimaksudkan adalah air suci yang dapat membuat suci seseorang. Air suci demikian layak disebut dengan tirtha nirmala atau tirtha amerta yang dipercaya mempunyai khasiat banyak selain membersihkan dosa-dosa, menyembuhkan berbagai penyakit, juga dipandang sebagai air keabadian. Dewa-dewa dipercaya telah meminum air amerta, oleh karena itu mereka bersifat abadi tidak mengenal kematian.

Dapat ditafsirkan bahwa dalam masyarakat Jawa Kuno dikenal adanya dua macam patirthan, yaitu (a) yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, untuk mandi, memasak, sumber air minum, mencuci dan sebagainya, dan (b) patirthān yang bersifat sakral untuk keperluan upacara keagamaan, dan juga kerapkali airnya digunakan untuk keperluan praktis sehari-hari. Dalam penelitian arkeologi Hindu-Buddha Indonesia, untuk membedakan antara petirthaan biasa dan petirthaan suci memang agak sukar, mungkin untuk keperluan sehari-hari masyarakat menggunakan air sungai, atau kolam yang lebar, akan tetapi jika ada mata air yang terbit dengan sendirinya di lereng gunung tertentu, maka dapat dianggap sebagai mata air sakral yang airnya dapat digunakan untuk keperluan upacara agama. Hal yang kedua pembeda itu adalah, biasanya mata air yang dipandang sakral akan dilengkapi dengan struktur arsitektur, dilengkapi arca-arca, dindingnya dihias relief dan sebagainya. Struktur tambahan itu dapat dibuat dari susunan balok batu, atau juga dari susunan bata.

Dalam perkembangannya, bentuk petirthaan dikenal menjadi 3 macam, yaitu:

1.Petirthaan alami, berupa badan air berupa mata air, kolam, danau, sungai yang dianggap keramat dan disucikan oleh masyarakat pendukungnya. Petirthaan alami ini tidak mendapat tambahan pengerjaan apapun, tetap seperti apa adanya. Contohnya Telaga Pengilon di Dieng, kolam Kasurangganan di Malang utara, dan Sungai Berantas dalam masa Jawa Kuno.

2.Sumber air alami yang mendapat tambahan dan pengerjaan lebih lanjut secara artifisial. Misalnya membuatkan pancuran (jaladwara) sebagai jalan keluarnya air, memperkeras tepian kolam dengan balok-balok batu, menambahkan arca-arca dewata dan lainnya lagi. Misalnya Petirthaan Bhima Lukar di Dieng, Candi Umbul di Magelang, Jalatunda dan Belahan di Gunung Penanggungan, dan petirthan Watu Gede di Malang.

3.Petirthaan yang merupakan bangunan buatan sepenuhnya, artinya di tempat tersebut tidak ada sumber air atau badan air apapun, namun kemudian dirancang suatu bentuk bangunan baru yang difungsikan sebagai tempat untuk mengambil air suci (Munandar 2003: 15). Air dapat dialirkan ke bangunan petirthaan seperti halnya Candi Tikus di Trowulan dan Petirthaan Simbatan Wetan atau bahkan diambil secara langsung dengan menggunakan wadah untuk keperluan upacara. Contohnya kepurbakalaan XVIIc (Candi Gentong) di Penanggungan yang menyimpan airnya pada sebuah gentong batu besar yang ditanam dalam tanah.

Petirthaan Belahan dahulu terdiri dari gugusan bangunan, namun yang tersisa sekarang hanyalah kolam petirthaannya dan dua arca dewi Sri dan Laksmi yang juga berfungsi sebagai arca pancuran. Kekunoan lain yang masih tersisa hingga sekarang hanyalah pintu gerbang yang beratap prasadha (di Bali dinamakan Gapura Kurung), sisa-sisa struktur pondasi bangunan, dan kolam. Bagian tepi kolam petirthaan diperkeras dengan susunan bata, begitupun dinding belakang kolam (barat) yang menyandar di kemiringan lereng diperkuat dengan susunan bata.

Pada dinding belakang di sisi barat tersebut semula terdapat 3 arca, hanya saja arca yang di tengah telah hilang, hanya menyisakan relung dangkal pada dinding bata. Dua arca dewi lainnya masih ada di tempatnya semula, walaupun kondisinya sudah aus dan pahatan rincinya tidak jelas lagi. Walaupun demikian pancaran keindahan masih terlihat dari kedua arca dewi itu, menunjukkan bahwa pemahatnya dahulu sangat pandai menguasai teknik ukir batu dan juga mengenal ikonografi dewa-dewi Hindu secara baik.

Berbeda halnya dengan petirthaan Jalatunda yang mempunyai inskripsi singkat angka tahun 899 Saka (977 M), Belahan tidak mempunyai inskripsi apapun. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat mengenai masa pembuatan petirthaan tersebut. Pendapat yang masih banyak dianut hingga sekarang dikemukakan oleh N.J.Krom (1923) yang menyatakan bahwa Belahan berasal dari masa Airlangga (1019—1042), bahkan petirthaan tersebut dianggap sebagai bangunan peringatan yang diabdikan bagi Airlangga setelah raja itu wafat. Arca Wisnu yang digambarkan duduk di punggung Garuda –sekarang disimpan di Pusat Informasi Majapahit, Trowulan–dianggap oleh Krom sebagai arca perwujudan Airlangga.

Pendapat yang dikemukakan oleh Th.A.Resink (1968), justru meragukan kesimpulan Krom, berdasarkan dukungan isi Prasasti Cunggrang tahun 851 Saka/929 M dan juga kajian peninggalan arkeologis yang masih tersisa menyimpulkan bahwa Belahan bukan dari zaman Airlangga. Petirthaan tersebut sangat mungkin berasal dari masa Raja Sindok (929—947 M) (Resink 1968: 6). Dalam prasasti Cunggrang bangunan petirthaan Belahan disebut dharmmapatapan i pawitra dan sangat mungkin didedikasikan bagi raja sebelum Sindok, yaitu Wawa atau Rakryan Bawang (Wawa) ayahanda dari Sri Parameswari Dyah Kebi istri Pu Sindok. Selanjutnya Resink menyatakan bahwa Belahan sangat mungkin berasal dari zaman Raja Wawa atau dari masa pemerintahan Sindok sendiri (Resink 1968: 32). Kesimpulan Resink tersebut mendapat dukungan dari Boechari, ia menyatakan bahwa jika arca Wisnu duduk di punggung Garuda itu berasal dari Belahan sesuai pendapat Krom, maka arca itu harus sesuai jika ditempatkan pada relung dangkal di tengah dinding belakang yang kosong. Akan tetapi ukuran arca itu terlalu besar untuk relung dinding belakang belakang yang lebih sempit. Artinya arca Wisnu tersebut harus berasal dari tempat lain.

Apabila diperhatikan dari sudut seni arca, maka kedua arca dewi yang masih ada di Belahan sejatinya bukan memperlihatkan arca-arca dari abad ke-10 atau 11, arca-arca tersebut justru menyimpan ciri gaya seni arca yang lebih muda. Arca-arca tersebut memperlihatkan adanya:

1.Garis-garis yang digambarkan pada bagian sirascakranya, mengesankan garis sinar yang keluar dari kepala arca.

2.Pada bagian belakang kepala arca juga digambarkan terdapat “pita-pita” yang berkibaran secara simetris di kanan-kiri kepala

3.Arca-arca tersebut walaupun sebagai arca pancuran memperlihatkan sikap statis kaku seperti halnya arca-arca perwujudan yang menggambarkan tokoh yang telah meninggal.

Ciri-ciri arca sebagaimana yang dimiliki oleh 2 arca dewi di Belahan adalah hal yang lazim dijumpai pada arca-arca zaman Majapahit (abad ke-14 M). Lagi pula ukuran tinggi arca-arca dewi di Belahan kurang lebih sama dengan arca Parwati dari Candi Ngrimbi dan juga arca Hari-Hara dari Simping, yaitu sekitar 2 m. Garis-garis yang keluar dari kepala arca juga dijumpai pada arca Hari-Hara, Parwati, dan arca-arca perwujudan zaman Majapahit lainnya bahkan yang berasal dari abad ke-15 M, Garis-garis itu hendak menyatakan kesucian tokoh arca yang disebut dengan “Sinar Majapahit”. Pada arca-arca zaman-zaman sebelumnya tidak pernah dijumpai adanya garis-garis sinar seperti itu.

Pita-pita yang berkibaran di kanan-kiri kepala juga dijumpai pada arca Hari-Hara dan Parwati yang keduanya menggambarkan tokoh Raden Wijaya dan Tribhuwanottunggadewi. Pita-pita tersebut terus digambarkan pada arca-arca perwujudan zaman Majapahit lainnya. Arca perwujudan adalah khas Majapahit, arca digambarkan dengan kedua tangan terjulur di samping tubuh, beranjalimudra, atau berdyanamudra di depan dada. Dalam hal dua arca dewi di Belahan keduanya, memiliki tangan kanan dan kiri dengan sikap simetris, tidak berbeda antara sikap tangan kanan dan kirinya. Salah satu arca kedua tangannya memegang payudaranya yang dari dalamnya memancar air ke luar, kedua tangan tersebut digambarkan simetris. Sementara itu kedua tangan lainnya digambarkan terbuka menjulur ke bawah tubuh secara simetris pula, jadi arca-arca dewi itu mempunyai 4 tangan. Hal yang harus diperhatikan sungguh-sungguh adalah bahwa kedua arca tersebut sejatinya menggambarkan arca Dewi Parwati, sakti Siwa Mahadewa, bukan Sri dan bukan pula Laksmi. Dalam Ikonografi Hindu, dewi yang digambarkan bertangan 4 hanyalah Dewi Parwati sebagai dewi tertinggi, bukan dewi-dewi lainnya.

Menilik gaya seni arca yang sepenuhnya bergaya Majapahit, maka dapat disimpulkan bahwa mungkin Belahan dibangun dalam era Majapahit. Jika memperhatikan ukuran arcanya yang sama dengan arca-arca dari Candi Ngrimbi dan Simping, maka Belahan ditafsirkan dibuat di awal abad ke-14 M. Belahan adalah petirthan Majapahit dengan konstruksi bata dan arca batu sebagaimana yang terdapat pada kepurbakalaan Majapahit lainnya yang juga menggunakan kedua bahan tersebut seperti Candi Jawi, Jago, Panataran, petirthaan Watu Gede, dan lainnya lagi.

Patithan Belahan sengaja didirikan oleh para pembangunnya dahulu di lereng Gunung Pawitra yang merupakan puncak Mahameru yang dipindahkan ke Tanah Jawa. Jalatunda berlokasi di lereng barat dan Belahan di lereng timur Penanggungan. Keduanya sebenarnya hendak menyatakan bahwa air yang memancar dari kedua petirthaan tersebut sebenarnya adalah amerta yang seakan-akan keluar dari tubuh Mahameru. Air amerta merupakan air yang diperlukan dalam kehidupan manusia dan juga para dewa, air itu dapat digunakan untuk berbagai kebaikan manusia.

Akan halnya petirthaan Belahan yang banyak menyita perhatian para sarjana mengenai kronologi pembangunannya, disebabkan tidak ada inskripsi angka tahun yang dapat dihubungkan dengannya. Maka kajian ini pun mengemukakan interpretasi tersendiri, bahwa berdasarkan kepada bahan pembuatan petirthaan, gaya seni arca, ukuran tinggi arca, dan penggambaran arca yang statis-kaku, disimpulkan bahwa Belahan berasal dari era Majapahit, sangat mungkin dari masa awal Majapahit menuju kemegahannya di paruh pertama abad ke-14 M, sangat mungkin dalam era pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi (1328—1351 M) yang juga digambarkan sebagai arca Dewi Parwati di Candi Ngrimbi.

Agaknya jika keluarga Isana mempunyai petirthaan untuk wangsanya, yaitu Jalatunda, maka keluarga raja Majapahit juga mempunyai petirthaan khusus untuk Rajasawangsa, yaitu Belahan. Wangsa Isana akhirnya dapat dikalahkan oleh wangsa baru yang dikembangkan oleh Ken Angrok (Rajasawangsa), setelah dikalahkannya Krtajaya raja Kadiri terakhir oleh Ken Angrok dalam pertempuran di Desa Ganter tahun 1222. Anak keturunan Ken Angrok yang memerintah di zaman Singhasari-Majapahit, tentunya akan membuat petirthaan tandingan di lereng Pawitra yang keramat tersebut. Jika Jalatunda milik Isanawangsa, maka Belahan milik Rajasawangsa. Lokasi Belahan di lereng timur Pawitra, menandakan arah terbaik, sebab di arah timur tempat bersemayamnya Indra, dewa yang menjadi rajanya para dewa. Indra adalah simbol penguasa.


Sumber: Majalah Arkeologi Indonesia.
Foto : Ritual Ruwatan di Patirthan Belahan.
Selengkapnya

Selasa, 14 Mei 2013

Paket Punia 10rb Per Bulan - Puskor Hindunesia

| |
0 komentar



Om swastyastu,


Paket Punia 10 ribu per bulan adalah program dana punia Pusat Koordinasi Hindu Indonesia, yang lahir dan digagas oleh para relawan dharma Hindu Indonesia (Hindunesia). Prorgam ini bertujuan untuk mengorganisir punia para Relawan dan anggota group yang tergabung dalam group Pusat Koordinasi Hindu Indonesia (Puskor Hindunesia). Punia ini akan digunakan untuk kegiatan sosial keumatan dan pemberdayaan sumber daya Hindu Indonesia.
Nilai paket yang hanya Rp, 10.000 (sepuluh ribu rupiah) per bulan ini, diharapkan dapat terjangkau oleh seluruh lapisan umat Hindu yang telah memiliki penghasilan ataupun yang berniat mepunia untuk kegiatan sosial keumatan. Dengan nilai minimal 10.000 rupiah diharapkan semua bisa berpartisipasi. Sedangkan yang ingin mepuia lebih disediakan Paket-Paket yang lebih besar. Tersedia Paket-1 (10.000), Paket-2 (20.000), dan seterusnya sampai dengan Paket-33 (330.000).
Dengan Paket Punia ini diharapkan bisa mengalokasikan secara optimal kegiatan-kegiatan sosial dan pemberdayaan umat secara terencana dan terprogram. Bagi yang ingin berpartisipasi silahkan mengisi formulir pendaftaran pada link ini.
Untuk sementara setoran Paket Punia bisa di transfer tiap tanggal 1 sampai tanggal 10 di awal bulan (bagi dermawan dharma yang ingin menyetor bulanan), atau sekaligus pertahun (dikalikan 12 dengan nilai Paket yang diambil) ke Rek. Sementara Puskor Hindunesia dengan no Rek. BCA 040 146 8161, an. Ida Bagus Ketut Susena, atau bisa juga ke Rek. BNI 0267292170, an. Ida Bagus Ketut Susena. Bagi yang melakukan transfer melalui bank, silahkan konfirmasi transferannya ke 08179753936 atau kirim melalui email puskor.hindunesia@gmail.com. Laporan penerimaan dan penggunaan Punia akan dilaporkan setiap bulan kepada para dermawan dharma melalui email atau diumumkan di group khusus di Facebook “Dermawan Dharma Puskor Peduli”
Mari kita bergotong royong bersama-sama berdayakan umat Hindu Indonesia dengan gerakan nyata di bidang sosial dan pemberdayaan umat untuk terciptanya umat yang damai (shanti), berkeadilan (kerta) dan sejahtera (jagadhita). "BERSAMA KITA BISA WUJUDKAN HINDUNESIA JAYA".


Om Shanti Shanti Shanti Om


Formulir untuk mendaftarkan Paket Punia bisa diisi pada link berikut ini:

https://docs.google.com/forms/d/1TgeKjZdiySrbVzW2TZ_lAcnxKx0UZwYohni0dSDJvxI/viewform


Atau bisa juga menggunakan formulir berikut untuk dicetak dan disetorkan ke sekretariat Puskor Hindunesia.

Selengkapnya

Senin, 13 Mei 2013

Menyambung Urat Persatuan Umat yang Terputus

| |
1 komentar

Banyuwangi - Bali Tribune (9 Mei 2013),
Keruntuhan masa kerajaan Majapahit memberikan pelajaran berharga bagi umat Hindu di Indonesia . Di era kerajaan tersebut, nusantara bisa bersatu dengan beragam suku dan unsur kebudayaan. Namun puing perpecahan tersebut kini diharapkan bisa bertemu lagi.  Menyambung urat persatuan uamt Hindu yang terputus lama.
Jumat (3/5) sekitar pukul 13.00 satu persatu warga mendatangi Pura Agung Blambangan yang terletak di Desa Tembok Rejo, Kec. Muncar, Kab.Banyuwagi. Lengkap mengenakan pakaian adat ke pura ala Bali dan tak jarang pula menggenakan  pakaian adat Jawa. Dari anak-anak, remaja, dewasa hingga tua memenuhi wantilan agung  nista mandala pura tersebut.
Jamuan berupa kudapan sederhana  yang disiapkan oleh pengempon pura setempat  pun siap siaga. Usai  rombongan Puskor Hindunesia  bersembahyang, haturan ucapan “om swasyastu” terdengar di sana-sini. Senyum sumringah  warga setempat dan rombongan menghiasi dharma tula hingga sore kala itu. Saling sapa menanyakan kabar. Hingga  tokoh dan lembaga umat memaparkan realitas keadaan umat setempat.
“Sebuah penghargaaan besar  bagi kami rombongan dari Bali bisa ke sini.  Bisa menengok  umata se-dharma. Semoga dengan pertemuan ini bia menjalin hubungan yang baik  kedepan. Maaf kami tidak bisa memberikan sambutan lebih, hanya ini bisa kita haturkan,”ujar seorang tokoh setempat, Sumarno  memberikan sepatah dua patah sambutan.
Suasana dharma tula yang berlangsung hingga sore menjelang malam itu sangat diapresiasi  oleh umat setempat.  Selain mengeluhkan  keadaan umat dari pendidikan agama hingga sulitnya memperoleh akte perkawinan. Pertemuan tersebut, menjadi menarik karena  mempertemukan sekaligus  mendekatkan umat Hindu lintas daerah. Baik dari Jawa Timur, khususnya di Kabupaten Banyuwangi  dan Bali melalui LSM Hindu tersebut.
Pertemuan itu pun diharapkan menjadi momentum kesadaran untuk membulatkan tekad untuk bersatu kembali. Meraih masa kejayaan Majapahit yang telah lama terkubur. Tak hanya di Banyuwangi, umat  di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, juga demikian halnya. Meskipun hanya diwakilkan oleh tokoh umat,PHDI, muda-mudi  dan pengurus Pura Giri Mandara Semeru Agung. Suasana dan jalinan untuk  sharing keumatan juga berjalan lancar.
Pada kesematan tersebut, pembahasan lebih banyak menukik pada pemberdayaan umat dengan pengembangan SDA dan SDM  umat yang dimiliki. Keadaan ekonomi umat yang minim, diharapkan  potensi pertanian umat setempat bia dimanfaatkan. Misalnya bahan-bahan perlengkapan upacara untuk di distribusikan di Bali.
Pimpinan Puskor Hindunesia IB Ketut Susena menggugah para pemuda-pemudi yang yang masih kuat secara fisik dan pikiran  agar tidak berkecil hati memulai wirausaha. Dengan potensi alam yang dimiliki daerah setempat, bahan-bahan upacara melimpah ruah. Bisa  menjadi ladang ekonomi yang menggiurkan. Apalagi belakangan ini, Jawa Timur dikenal sebagai pemasok sentra bahan-bahan upacara di Bali.
“Itu merupakan prospek yang bagus. Galang koordinasi dan komunikasi, sehingga nanti bahan-bahan upacara bisa terjual di Bali. Apalagi ini untuk pemberdayaan umat di Lumajang,”ujar Dekornas Puskor Hindunesia Ini. Ia menambahkan bahwa sudah saatnya persatuan umat Hindu yang tercerai berai di Nusantara dipersatukan dalam bidang apapun.  Termasuk ekpansi (perluasan)  ekonomi yang terintergasi dengan stakeholder  yang memiliki pengaruh besar. Masalah ekonomi belakangan masih menjadi  perhatian serius. Pasalnya, hal ini seringkali memicu potensi pola pikir irasional dikalangan umat untuk melakukan konversi tanpa berfikir seara jernih.
Demikian halnya di Desa Kayu Kebek, Kec. Tutur, Kab. Pasuruan. Kunjungan LSM Hindu dibawah bendera Puskor Hindunesia mendapat tempat dihati masyarakat setempat. Umat yang berdampingan hidup dengan umat Muslim, terjalin baik dan apik itu mengharapkan informasi luas lagi agar umat ataupun  komunitas Hindu di luar sana bisa mengunjunginya. Menjalin persaudaraan dan ikatan sebagai ‘nyama braya’. “Kita harapkan, agar bapak-ibu bisa  singgah lagi kesini di kemudian hari. Dan memberikan informasi bahwa disini ada umat Hindu,”harap Wangiso, tokoh umat sekaligus pemangku di desaa terpencil itu. KA Widiantara
Selengkapnya

Akte Perkawinan, Pendidikan hingga Konversi

| |
0 komentar

Pasuruan - Bali Tribune (9 Mei 2013),
Kebangkitan Hindu nusantara saat ini memang sudah mulai tampak. Meskipun demikian, bukan berarti mulus tanpa halangan.Permasalahan klasik umat di Bali sebagai barometer Hindu Indonesia juga dialami di daerah-daeah lain. Meskipun kebebasan beragama di negeri ini seringkali mengemuka.  Nyatanya berbanding terbalik dengan realitas  di lapangan.
Sewa Dharma Yatra yang digelar oleh  Pusat Koordinasi  Hindu Indonesia (Puskor Hindunesia), LSM  bergerak di bidang sosial –keagamaan di Jawa Timur, 3-5 Mei lalu membuka mata dan hati bahwa kebebasan beragama di negeri ini masih kalut dan terancam. Pasalnya untuk  memperoleh pendidikan keagamaan, memperoleh  akte perkawinan hingga tekanan konversi agama tak jarang  dirasakan oleh umat Hindu di beberapa daerah. Negara yang memiliki kewenangan untuk menyikapi itu pun terkesan tutup mata. Berikut  laporan perjalanan Wartawan Koran Bali Tribune, Komang Agus Widiantara menelusuri hiruk pikuk umat di Jawa Timur bersama Puskor Hindunesia.
Kunjungan yang dilakukan Puskor Hindunesia memang bukan satu-satunya komunitas atau LSM  Hindu yan belakangan bergerak untuk menyikapai masalah ke-Hindu-an di beberapa daerah. Gerakan serupa juga pernah dilakukan oleh mahasiswa hingga paguyuban atau komunitas lain yang serupa. Permasalahan yang dihadapi dilapangan pun tak jauh berbeda.
Banyuwangi merupakan salah satu kunjungan Puskor Hindunesia dari 3 kabupaten  di Jawa Timur yakni Lumajang dan Pasuruan. Umat Hindu yang tersebar di Kabupaten ini pun terbilang banyak  yakni menembus 1.116 KK.  Permasalahan yang disampaikan dalam dharma tula kala itu pun beragam. PHDI Banyuwangi yang diwakili oleh Wayan Merta dihadapan  Puskor Hindunesia, tokoh,  pemuda-pemudi dan umat setempat mengatakan bahwa permalahan keumatan seperti pendidikan keagamaan, sulitnya mengakses dan memperoleh akte perkawinan yang berujung pada konversi. Sejauh ini masih mejadi kendala besar pihaknya untuk mencarikan solusi.
Pemaparan Merta memang beralasan besar karena, sebagian besar umat Hindu setempat maupun  berasal dari Bali selama ini memang diakuinya dari fakta yang ditemukan dilapangan. Hal tersebut  juga mengemuka pada dharma tula dengan kehadiran warga setempat yang menyampaikan keluhan-keluhan.  Perlakukan yang tak adil sebagai minoritas di Kabupaten yang notabene masyarakatnya sebagai petani tersebut. Menjadi momok  dan tantangan memperoleh selember akte perkawinan, misalnya.
Untuk memperolehnya,umat harus berjuang mati-matian. Mulai dari syarat dan ketentuan hingga prosedur nyelimet yang arus dilewati. Itu pun belum tentu sepenuhnya juga diperoleh. “Bahkan kalau ngurus itu (akte perkawinan, red),  jika di KTP tercantum beragama Hindu, susahnya minta ampun.  Bahkan, ada yang rela berganti agama di KTP untuk peroleh akte perkawinan. Sehingga agama yang menjadi korban,”ujar salah seorang pengurus PHDI kecamatan yang mengenakan pakaian khas adat Jawa.
Tak hanya berhenti disana, pembinaan umat melalui pendidikan di sekolah-sekolah dan pasraman juga menjadi perhatian serius  dalam dharma tula yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut. Wajar saja, ribuan umat yang ada di Kabupaten tersebut hingga kini hanya ada 4 guru agama Hindu  yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Hal itu jelas   kurang efektif dalam  menanamkan nilai-nilai Hindu pada para pelajar dai tingkat SD-SMA.
Agar bisa menjangku pendidikan agama  disekolah. Salah satu pengajar  agama Hindu, Susiani Wulandari mengakui semenjak menamatkan diri dari Perguruan Tinggi Hindu di  Universitas Hindu Indonesia (UNHI) tahun lalu.  Ia kini mengabdikan dirinya di salah satu sekolah dasar yang bertatus Swasta tanpa diberikan gaji sedikitpun. Meskipun demikian, ia tidak serta merta pasrah begitu saja dalam mentranfer pengetahuan yang ia miliki selama duduk 4 tahun di bangku kuliah.
“Saya bangga bisa memberikan ilmu walaupn  tidak dibayar, juga tidak menuntut. Diberikan kesempatan untuk membimbing saya sudah  senang dan berterima kasih,”kata perempuan yang aktif mengajar di Pasraman “Dharma Sentana” Desa. Sembulung Kec. Cluring, Banyuwangi. Hanya saja, dalam proses pembelajaran tersebut buku-buku keagmaan masih menjadi benturan agar proses pembelajaran berjalan efektif.
Sejalan dengan keadaan umat di Kabupaten Bayuwangi. Demikan halnya pula  dialami di Kabupaten Lumajang yang didiami umat mencapai 2.100 KK.  PHDI setempat, Edy Sumianto mengakui permasalah klasik umat hingga kini juga belum tertangani dengan tuntas. Perjuangan untuk memperoleh syarat akte perkawinan hinga kini pun juga belum tertangani. Ia mengakui, kelemahan koordinasi yang meilibatkan komunitas agama lain juga menjadi kendala terbesar. Bahkan, upaya yang dilakukan ke pemerintah daerah agar memperoleh  akte tersebu juga terhadang  dari akte kelahiran.
“Seharusnya bisa dari keterangan desa untuk memperoleh akte kelahiran sehingga akte perkawinan juga lancar. Sayang prosesnya untuk itu dipersulit lagi. Inilah cara mereka untuk menekan kita dan memang disengaja,”tutur Edy yang juga menjadi penyuluh agama di Kabupaten Lumajang.
Begitupun untuk pendidikan umat di kabupaten itu.  Edy menjelaskan sulit menemukan generasi muda yang bisa sampai melanjutkan perguruan tinggi.Untuk mencarikan keadan itu pihaknya membentuk lembaga punia yang nantinya bisa memberikan  ruang pendidikan yang layak khususnya bagi umat yang kurang mampu. “SDM kita masih ketinggalan jauh. Tamat SMA bisa dihitung  dengan jari, karena sejak SMP saja sudah ada yang nikah,”akunya prihatin.  Koordinasi yang ditempuh melalui PHDI Pusat hingga disuarakan melalui Pesamuhan Agung PHDI pun, sejauh ini belum menemukan titik terang yang benderang. “Sampai saat ini belum juga ada hasilnya,”imbuhnya.
Namun nampaknya berbeda dengan keberadaan umat di Desa Kayu Kebek, Kec. Tutur, Kab. Pasuruan. Meskipun berada dipelosok dan diapit oleh lereng gunug. Keberadaan umat setempat yang berdampingan dengan umat lain nampak rukun. Hal tersebut diceritakan oleh tokoh setempat yang juga seorang pemangku yakni Wangiso. Pria 48 tahun ini mengatakan hidup berdampingan sudah sejak dulu kala terjalin, saling menghargai dan menghormati.  Jumlah umat yang mencapi 160 KK rata-rata memiliki mata pencarian sebagai petani dan buruh tani.
Hanya saja, pendidikan umat terbilang minim. Upaya untuk membangitkan pendidikan keagamaan melalui pasraman kembali dimulai. Meskipun terhalang tenaga pengajar yang mumpuni. Dewan Koordinasi Nasional  Puskor Hindunesia, IB Ketut Susena menilai bahwa menyikapi permalahan umat yang kompleks di beberapa wilayah Indonesia memang sebuah dilema dan menjadi tantangan untuk membangun kembali. Namun bukan berarti hal tersebut mustahil tidak ada jalan keluarnya.
Ia meminta kepada semua pihak,elemen dan tokoh masyarakat  permasalahan Hindu di Indonesia bisa teratasi dengan bertahap jikalau semua mau bekerjasama, saling berkoordinasi dan bersatu padu. “Yang bisa kita lakukan saat ini adalah menggalang persatuan  dengan  koordinasi semua elemen. Hal inilah yang selama ini lemah di umat kita,”tegasnya.  Pada kegiatan Sewa Dharma Yatra berangsung 3 hari itu.  Susena dan relawan yang tergabung, berkomitmen membentuk koordinasi di masing-masing kabupaten.  Menghimpun data-data keumatan yang penting, untuk menjadi rujukan menyikapi permalahan umat Hindu dalam berbagai hal dan bidang. KA Widiantara

Selengkapnya

Pasraman di Pelosok Bermodal Lima (5) Ribu Rupiah

| |
1 komentar

Pasuruan - Bali Tribune (9 Mei 2013),
Keberadaan pasraman di Bali memang terbilang cukup mapan. Selain anggran di topang oleh pemerintah.  Kehadirannya tiap desa (adat/pakraman) pun terbilang  kompak. Begitupun operasional penunjang buku keagamaan dan pengajar tidaklah sulit ditemukan.  Dibandingkan dengan daerah lain. Nasib pasraman, sebagai wahana yang diharapkan memperkenalkan pemahaman agama terganjal berbagai faktor riil. Menariknya Desa Kayu Kebek, Kec. Tutur, Kab. Pasuruan, Jawa Timur   memiliki cara unik untuk membangun pasraman.  Yakni hanya dengan bermodal Rp 5 ribu. Ah, yang benar saja?
Edi Santoso (23), pemuda desa setempat yang memiliki akivitas sehari-sehari sebagai tukang kebun di Sekolah Dasar ini mengakui hal itu. Berlatarbelakang pendidikan Sekolah Menengah Pertama  (SMP). Ia dan pemuda-pemudi yang tinggal di desa memiliki keinginan membangkitkan pasraman. Meskipun tahu bahwa  membangun pasraman tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan. Perlu dana, tim pengajar dan buku pendukung. Namun, itu bukanlah menjadi tantangan utama baginya dan pemuda-pemudi lainnya.
Pemahaman agama yang kurang di kalangan pelajar dengan rentan waktu terbatas di sekolah. Adalah salah sat pendorong Edy untuk membangun pasraman dengan segala keterbatasan. “Awalnya kita mulai dengan iuran 5 ribu dari para pemuda yang aktif ,”kata Edy. Ide tersebut tercetus sejak 3 tahun yang lalu. Dari jumlah total anggota muda-mudi di desa mencapai 75, sementara yang aktif hanya 11 orang. Meskipun dana yang terkumpul masih jauh dan  kurang dari kebutuhan operasional  pasraman. Namun, ia optimis akan terus berjalan seiring dukungan masyarakat yang mengalir.
Proses belajang mengajar di pasraman pun cukup intens dilakukan, yakni enam kali dalam seminggu. Dengan memanfaatkan waktu di sore hari, di bagian  madya mandala  Pura Widya, pura umum desa setempat. Intensitas dan kefektivan pasraman tersebut pun berjalan hingga kini.  Selain mempelajari teori-teori keagamana, juga diajarkan mantra-mantra hingga tari-tarian daerah setempat. “Pemangku disini juga ikut yang ngajar, tapi khusus mantra-mantra,”akunya.
Kepercayaan akan keberadaan pasraman pun disambut hangat oleh masyarakat hingga PHDI setempat. Untuk menanggulangi dana operasional, seperti pembelian kapur dan buku-buku keagamaan.  Kini umat setempat memberikan iuran yang bersifat sukarelawan, yang tiap bulannya bisa mencukupi kebutuhan pasraman.
Meskipun demikian, tenaga pengajar menjadi kendala hingga sampai saat ini. Rata-rata pengajar di  pasraman yang memiliki nama sesuai dengan pura setempat. Kata Santoso, tidak sampai mengeyam sarjana. Kini hal itupun menjadi pertimbangannya , agar ilmu  yang diperoleh anak-anak pasraman juga lebih baik. Ia berharap kepada muda-mudi yang melanjutkan pendidikan tinggi di kota bisa menjawab tantangan dan berkontribusi di pasraman.

“Kalau ada guru resmi dari lulusan sarjana, anak-anak pasraman akan lebih segan. Kalau seperti kita masih kurang (segan,red),”jelasnya yang mengaku banyak tawaran untuk melanjutkan   pendidikan tinggi. Hanya saja ia enggan mengiyakan berhubung tanggung jawab di pasraman dan  mengurusi kedua orang tua. Ia berharap ke depan, meskipun pekerjaan kini sebatas tukang kebun di SD ia juga ingin membantu mengajar agama sekolah tersebut . “Itu sudah visi saya ingin mengajar agama,”tuturnya. (KA Widiantara)
Selengkapnya

Kamis, 02 Mei 2013

Suku Osing Adalah Bagian Dari Kejayaan Hindu Blambangan

| |
0 komentar

Sejarah Suku Using/Osing diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Using) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu. Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Using mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Using mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terlihat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan, dan mempunyai sejarah sendiri-sendiri. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Using dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan. Osing juga merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya. Dalam lingkup lebih luas. Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah Sabrang Wetan, yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa. Keberadaan komunitas Osing berkaitan erat dengan sejarah Blambangan (Scholte, 1927). Menurut Leckerkerker (1923:1031), orangorang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa. Keturunan kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat, budaya maupun bahasanya (Stoppelaar, 1927). sebagai kelompok budaya yang keberadaannya tidak ingin dicampuri budaya lain. Penilaian masyarakat luar terhadap orang Osing menunjukkan bahwa orang Osing dengan budayanya belum banyak dikenal dan selalu mengaitkan orang Osing dengan pengetahuan ilmu gaib yang sangat kuat Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M. SEJARAH PERANG BAYU ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti tenggelam.

Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana, Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”. Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah juga ingin menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang Bayu yang liar’ (Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.

Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan: “daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali…”.

Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat. Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”. Scholte (1927:146) menyatakan:

“Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru”. Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong Using atau sisa-sisa wong blambangan.
Bahasa

Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa Osing berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga bahasa Osing bukan merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa kalangan[rujukan?]. kamus boso using
Kepercayaan

Pada awal terbentuknya masyarakat Using kepercayaan utama suku Using adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Using. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Using juga dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Using mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.
Demografi

Suku Using menempati beberapa kecamatan di kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan bagian utara, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi,Kecamatan singonjuruh,Kecamatan Sempu, Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon. Komunitas Using atau lebih dikenal sebagai wong Using oleh beberapa kalangan dan hasil penelitian1 dianggap sebagai penduduk asli2 Banyuwangi, sebuah wilayah di ujung paling timur pulau Jawa yang juga dikenal sebagai Blambangan. Komunitas ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur Banyuwangi yang secara administratif merupakan kecamatan-kematan Giri, Kabat, Glagah, Rogojampi, Sempu, Singojuruh, Songgon, Cluring, Banyuwangi Kota, Genteng, dan Srono. Di tiga kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk non-Using, migran berasal dari bagian barat Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta (wong Using menyebutnya wong Jawa-Kulon).
Profesi

Profesi utama Suku Using adalah petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.
Stratifikasi Sosial

Suku Using berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Using tidak mengenal kasta seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduknya.
Seni

Kesenian Suku Using sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya suku bali dan suku tengger. Kesenian utamanya antara lain Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong, Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan Jedor.
Desa Adat Kemiren

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku Using yang cukup besar dengan menetapkan desa Kemiren di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya suku Using. Desa kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini. 
Selengkapnya

Membangun Pusat Koordinasi Hindu Untuk Bali

| |
1 komentar
Om Swastyastu,
Kalau kita berhitung tentang potensi Bali untuk membangun sebuah Pusat Kordinasi untuk meningkatkan sumber daya manusia Hindu dan meningkatkan kesejahteraan mereka, akan sangat mudah kita lakukan. Yang penting, semua komponen kordinator yang notabene adalah para relawan Dharma harus mau meluangkan waktu sebagai pekerja sosial untuk penegakan Dharma.
Kita lihat ilustrasi tabel dibawah ini:

Statistik Jumlah Kode Pos di Bali (Sumber: www.posindonesia.co.id)

Kalau kita hitung dari data tersebut berarti ada 57 Kordinator Kecamatan dan 710 Kordinator Desa yang bisa digerakkan untuk mengumpulkan informasi tentang keumatan termasuk statistik dari kondisi riil umat kita di seluruh Bali. 

Dari peta ini kita akan bisa lakukan banyak hal, apalagi kita bisa bersinergi dengan Desa Adat, Prebekel, Kelian Dinas dan juga Kelian Adat.

Hanya sekarang bagaimana kita bisa mengajak lebih banyak generasi muda/umat Hindu yang peduli mau bergabung dan menjadi kordinator di setiap desanya. Sistem yang kita pakai akan sangat sederhana, karena kita memanfaatkan sistem kode pos yang sudah ada. Sehingga mudah untuk mengenal dan mengkordinasikannya.

Mohon masukan dan saran dari semua yang berkeinginan agar Hindu di Bali memiliki akses untuk membantu saudara kita yang lain. (HCC80116).
Selengkapnya
Diberdayakan oleh Blogger.